“Mengapa
kalian dilahirkan di Indonesia ??”.
Itulah
pertanyaan pertama yang di lontarkan oleh kakak tingkat saya yang bernama
Abdullah, ia seorang mentor kegiatan Keagamaan. Aku bersama dua orang Mahasiswa
lainnya dari jurusan yang berbeda. Mereka bernama Taufik dan Fikri. Di minggu
pagi, kami sedang mengikuti kegiatan mentoring Keagamaan di pelataran Masjid
kampus yang diadakan bagi mahasiswa semester 2.
“Karena
ini adalah takdir dari Allah SWT dan kita jangan pernah menyalahkan takdir”.
Jawabku tegas.
“Mungkin
pertanyaan itu jarang kita dengar dan jarang pula kita renungkan bersama, benar
kan?”. Tanya Abdullah. Seketika aku dan yang lainnya diam tanpa kata, mungkin
memang kami sejutu dengan pertanyaan Abdullah atau memang pertanyaan itu tidak
penting.
“Jika
jawabannya takdir maka sudah terjawab pertanyaan Kaka tadi, tapi mengapa
demikian?. Karena kita tidak tahu rencana Allah SWT yang sebenarnya mengapa
kita dilahirkan di Negara yang mayoritas muslim ini”. Jawab Abdullah dengan
roman wajah yang serius.
“Lantas,
apa yang sudah kalian lakukan untuk Negara kelahiran kalian ini ? baik dalam
bidang Keagamaan ataupun bidang lainnya, iya silahkan kepada teman-teman
sekalian untuk berbagi pengalamannya”. Tanya Abdullah lagi.
“Ka,
saya duluan boleh?”. Jawab Fikri.
“Iya
silahkan Fikri”. Tambah Abdullah.
“Kalau
saya sendiri, saya sudah pernah mengharumkan nama Indonesia dalam ajang
perlombaan robot se-Asia yang diadakan di Jepang. Dan pada waktu itu saya kebetulan
meraih juara II, mungkin nantinya saya akan terus mengharumkan Negara kelahiran
saya ini dengan keahlian yang saya punya”. Jawab Fikri dengan nada yang
menyakinkan dan roman wajah yang serius.
“Ka
saya juga mau berbagi pengalamannya donk”. Jawab Taufik sambil memelas.
“Iya
silahkan Taufik”. Tambah Abdullah.
“Saya
pernah mengharumkan budaya Indonesia di mata Internasional melalui pentas seni
Angklung yang diadakan di Kota Hamburg, Jerman. Pada waktu itu saya bersama
teman-teman dari UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Musik Tradisional di
undang langsung oleh Dubes Indonesia di Jerman pada acara Traditional Music
Performance dan saya kira hal itu salah satu bentuk kegiatan yang membuat
Indonesia bangga”. Jelas Taufik dengan tersenyum bangga. Dalam kekagumanku
kepada Fikri dan Taufik, Rasa iri muncul dari dalam hati ini.
“Alhamdulillah,
lanjutkan terus ya, Fikri dan Taufik, terus bagaimana dengan Daud?”, tanya
Abdullah secara singkat.
“Itulah
pertanyaan yang paling aku takutkan”. Jawabku dalam hati. Aku pun kebingungan
karena melihat dari pengalaman hidupku, belum pernah melakukan suatu hal pun
yang bisa dibanggakan, baik untuk Agama ataupun Negara kelahiranku ini.
“Emmm….
Kalau saya belum punya pengalaman yang seperti itu, tapi rencana saya mau
menjadi orang Indonesia yang berdakwah di Negara-Negara Eropa”. Jawabku secara
spontan dan berharap mendapat nilai tambah dalam pandangan Abdullah.
Dan
suasana mentoring pun sunyi sejenak, kulihat wajah mereka tampak kebingungan,
“Mungkin karena aku yang salah jawab atau aku yang berlebihan jawabnya ya?”.
Tanyaku dalam hati.
“Subhanalloh,
meskipun baru rencana kaka bangga kepadamu, tapi apa kamu yakin dengan
rencanamu itu?”. Tanya Abdullah dengan mimik wajah ragu-ragu
“Emm,
Insya Allah, saya yakin dengan rencana saya”. Jawabku dengan ragu-ragu
“Ka,
tidak apa-apa saya bertanya kepada Daud?”. Tanya Fikri
“Iya
silahkan Fikri”. Jawab Abdullah
“Sampai
saat ini kemampuan apa saja yang sudah Daud siapkan untuk menggapai rencananya
itu?”. Tanya Fikri. Pertanyaan itu seperti seorang polisi yang sedang
menginterogasi penjahat. Dan disini aku yang menjadi penjahatnya.
”Eemmm…,
kalau kemampuan sih….. paling dari bidang Tauhid, Aqidah dan yang lainnya akan
aku perdalam”. Jawabku polos dan mulai membohongi diri sendiri. Dalam aktifitasku
sebagai Mahasiswa jelas tidak apa-apanya dibandingkan dengan dua orang temanku
ini. Aku tidak pernah mengikuti kegiata-kegiatan kemahasiswaan dikampus, jarang
pergi baca-baca di perpustakaan. Aktifitasku hanya kuliah dan nongkrong di
kampus. Dorongan untuk belajar pun rendah, terbukti dari nilai IPK yang
pas-pasan.
Suasana
hatikupun kembali tidak tenang ketika Taufik dan Fikri tersenyum sinis
kepadaku.
“Pertanyaan
terakhir untuk mengakhiri pertemuan kali ini adalah, Negara mana yang kalian
pilih, seandainya kalian diberi kesempatan menetap disana?. Iya…kaka pengen tau
dulu dari Fikri”. Tanya Abdullah
“Kalau
aku sih… pengennya sih di Francis. Karena pertama, cita-cita keluargaku pengen
pindah dan menetap disana di tambah perkembangan teknologinya sudah maju. Jadi
bisa mengembangkan kemampuanku juga dalam bidang Robotika. Kalau di Indonesia
sih… banyak kendala buat majuin bakatku ini”. Jelas Fikri
“Selanjutnya,
Daud Atau Taufik dulu?”. Tanya Abdullah
“Saya
aja Ka”. Ujar Taufik.
“Iya
silahkan Taufik”. Jawab Abdullah.
“Kalau
saya… sesuai dengan Negara kelahiran Ayah saya yaitu Irlandia, kalau dalam
sepak bola sih… saya itu bisa disebut pemain naturalisasi,”hhehe. Jawab Taufik.
“Sombong
banget ini orang”. Jawabku dalam hati.
“Kita tahu
alat musik tradisional terompet yang menjadi ciri khas Negara Irlandia, dan itu
hanya salah satunya, masih banyak lagi alat musik Tradisional yang unik.
Nah…itu yang membuat saya terobsesi pengen ke sana, kalau di kasih pertanyaan
seperti tadi, yaa Irlandia yang menjadi pilihan saya, hhehhe”. Jawab Taufik
diakhiri dengan senyum.
“Iya
terakhir, silahkan Daud,”. Tanya Abdullah.
“Saya
ka, emmm…. tetap di Indonesia saja. Saya merasa, orang-orangnya, budaya dan
daerahnya, di Indonesia ini punya keunikan tersendiri. Tapi yang terpenting
adalah Agamanya ka, yaitu Negara yang Mayoritas Islam. Saya bersyukur kepada
Allah SWT karena sudah di lahirkan disini.” Jawabku enteng dan tetap berharap
mendapat nilai lebih di mata Abdullah.
“Iya,
pada bagus-bagus nya jawabannya. Mungkin sudah cukup yah pertemuan pertama kita
kali ini, pertanyaan tadi itung-itung sebagai pembuka mentoring pertama kita.
Jadi kesimpulannya pertama, jangan pernah menyalahkan takdir yang Allah SWT
berikan kepada kita. Kedua, lakukanlah segala sesuatu baik urusan dunia ataupun
akhirat karena Allah SWT, bukan karena ingin mendapat pujian atau imbalan dari
orang lain. Emmm… kalau begitu kita cukupkan saja dan kita tutup dengan
membacakan do’a akhir majelis“. Jelas Abdullah.
“Kok
Abdullah kaya yang bisa baca pikiranku, jadi kesindir nih”. Jawabku dalam hati.
“Assalammua’laikum
warahmatullahi wabarakatuh”. Abdullah
“Waalaikumsalam
warahmatullahi wabaraktuh”. Jawab kami secara serentak
Kegiatan
pertama mentoring pun tidak terasa sudah selesai dan kami pun membubarkan diri.
Tapi ketika keluar dari masjid menuju parkiran, aku dipanggil oleh Fikri.
“Daud”.
Tanya Fikri sambil berjalan menghampiriku.
“Iya
Fik ada apa?”. Jawabku heran.
“Emm,
boleh ngobrol sebentar gak?”. Tanya Fikri.
“Iya
Fik, kenapa?”. Dalam pikiranku mulai bingung bercampur tegang karena melihat
roman wajah fikri yang serius.
“Ngobrolnya
di deket tangga Fakultas Ekonomi aja yuu, bentar kok”. Kami pun mulai berjalan
bersama menuju tangga Fakultas dan memang di hari minggu ini kampus terlihat
sepi. Perasaanku mulai bingung, mau apa si Fikri ngajak ngobrol-ngobrol segala.
“Langsung
aja yahh, saya itu mau nanya tentang jawaban kamu pas tadi mentoring. Jujur
yah, saya sebenernya iri lihat kamu yang mempunyai cita-cita begitu mulia yang
mau jadi pendakwah dalam Islam. Tapi memang gitu yah di ajaran Islam, harus
jadi pendakwah?”. Tanya Fikri. Rasa bangga mulai menghampiriku, memang tidak
salah jawabanku tadi. Tapi bersamaan dengan itu muncul kebingungan.
“Kok
nanya nya kaya gitu?, memang wajib kan, setiap muslim minimal berdakwah kepada
keluarga, nah maksimalnya kepada siapa saja”. Jawabku seadanya.
Pada
saat aku selesai menjawab, terdengar bunyi handphone di
dalam tas Fikri. Dengan tergesa-gesa ia mencari handphone di
dalam tasnya sehingga isi di dalam tasnya keluar semua. Ketika melihat handphone nya ia
pun terlihat tegang dan resah.
“Bentar
yahh, nerima telepon dulu, barang-barang yang keluar biarin aja nanti Fikri
yang beresin”. Jawab Fikri. Setelah itu ia bergegas menuju arah belakang gedung
Fakultas dan tidak terlihat dalam pandanganku. Kebingunganku mulai mencapai
titik klimaks ketika ia berkelakuan seperti itu. Dengan rasa lupa yang
dikatakan ia tadi dan di pikiranku hanya berniat untuk menolong, aku pun
memasukkan kembali barang-barangnya yang keluar. Betapa kagetnya ketika yang
kutemukan di antara buku-bukunya ada kitab Injil Kristen. Dengan rasa bingung
dan di tambah rasa penasaran, ku buka kitab Injil itu dan tepat pada halaman
pertama ada tulisan yang membuatku lebih kaget. Di sana ada tulisan “I love
Jesus” beserta dibawahnya ada tulisan nama Valentinus dan no hanphone. Ku buka
halaman selanjutnya, secara tiba-tiba Fikri datang dan mengambil kitab Injilnya
seraya berkata.
“Kan
aku sudah bilang, jangan dulu diberesin barang-barangnya”. Bentak Fikri, muka
putihnya berubah menjadi merah karena emosi yang tinggi.
“Iya
maaf, tadi tidak sengaja, niatnya cuman membantu kok”, Jawabku merendah.
“Iya
gak apa-apa, sepintar-pintarnya menyembunyikan pasti ketahuan juga kok”. Jawab
Fikri. Seketika suasana pun mula mencair, tapi tetap kebingunganku belum
terobati.
“Emm,
sebenarnya…… aku itu bukan penganut agama Islam, namaku Valentinus, tadi juga
yang menelepon ibuku, ia selalu mengingatkanku untuk beribadah di Gereja.
Harusnya sekarang tuh.. aku ibadah di Gereja. Tapi, sekarang aku mau jujur
secara total. Tapi Daud jangan bilang dulu ke siapa-siapa yahh”. Tanya fikri
memelas.
“ Iya,
tenang aja. Gimana ceritanya?”. Tanyaku dengan semangat
“Aku
itu…..emmmm….. selama beberapa bulan ini sudah belajar Islam dan sudah lama
juga aku menyembunyikannya dari keluarga. Tapi beberapa teman kelas ada yang
sudah mengetahui, tapi aku bilang jangan dulu disebarluaskan. Tapi tenang, aku
pengen belajar Islam dan hal ini muncul dari hati bukan utusan untuk
kristenisasi. Makanya aku memberanikan diri ikutan mentoring, itu juga banyak
perjuangannya, mulai dari bisa punya kartu mentoring, ganti nama dan masih
banyak juga lika-likunya”. Jelas Valentinus
Dalam
pikiranku mulai menyadari betapa sulitnya kaum non muslim yang berniat masuk
islam. Terbayang olehku bagaimana kalau keluarga Valentinus mengetahui niat
baiknya ini. Tapi mengapa betapa seringnya aku menyia-nyiakan keislamanku yang
diberikan Allah SWT sejak lahir ini.
“Jadi
gimana??”. Tanya Valentinus
“Gimana
apanya??. Tanyaku
“Iya
makanya aku ngajak ngobrol disini tuh… karena aku pengen belajar Islam tapi
pengen sama kamu…Daud. Aku sudah percaya sama kamu. Gak apa-apa kan?”. Lanjut
Valentinus.
“Oiaa,
tentu dengan senang hati. Tapi sebenarnya aku juga belum faham betul tentang
Islam. Maksudnya belum siap secara pengetahuan. Kalau hati, aku itu udah mantap
dengan agama Islam”. Jawabku polos.
“Iya
gak apa-apa, kita sama-sama belajar aja tentang Islam ini, tapi strateginya aku
belajar dari kamu.. Daud. Soalnya aku belum siap secara mental kalau langsung
belajar dari seorang Ustadz”. Jelas Valentinus.
“Tapi
kalau menurutku sihh… bagusnya kamu itu belajar sama Ustadz biar jelas segala
masalahnya. Yang Daud takutkan tuh… Nanti kalau salah gak ada yang benerin, kan
Daud juga belum faham betul tentang Islam ini, hhehe”, Jawabku polos
“Iya
deh, nanti kita obrolin lagi. Oiaa ini no hanphone Valen, nanti Valen kabari
buat kedepannya”. Sambil menyodorkan secarik kertas.
“Oke,
siap. Kalau gitu, Daud pamit duluan yah. Ada janji sama temen. Gak apa-apa
kan?”. Tanyaku
“Oiaa
silahkan, tapi sebelumnya terima kasih yaa bantuannya. Terus, tetap jaga tentang
rahasia ini. Valen disini aja dulu, nunggu temen buat ke Gereja bareng”. Jawab
Valentinus.
“Tenang
saja, aku bukan tipe orang yang suka curhat”. Jawabku, sambil berjalan pergi ke
arah parkiran.
Di hari
minggu ini, aku merasakan sesuatu yang sangat berbeda. Mungkin ini salah satu
pertolongan Allah SWT agar aku kembali ke jalan yang lurus. Aku ingat perkataan
seorang Ustadz yaitu kita harus bisa mengambil hikmah di setiap kejadian yang
kita alami. Dan hikmahnya dari pengalaman ini aku berjanji kepada diriku
sendiri dan kepada Allah SWT untuk berubah dalam sikap dan prilaku. Agar bisa
menjadi orang yang ber Amar Ma’ruf Nahyi Mungkar. Kalau di beri pilihan, aku
akan memilih Negara Indonesia sebagai Negara untuk memperdalam pengetahuanku
tentang Islam. Dengan begitu akan kuwujudkan rencanaku yang tadinya hanya
sebatas menjawab pertanyaan Abdullah tapi sekarang akan benar-benar kuwujudkan
yaitu menjadi orang Indonesia yang berdakwah tentang Islam di Negara-negara
Eropa.
Aamiin