Pengertian Sistem Ekonomi Pancasila (SEP)
Sistem ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi pasar
yang terkelola dan kendali pengelolaannya adalah nilai-nilai Pancasila. Dengan
perkataan lain ekonomi Pancasila tentulah harus dijiwai oleh nilai-nilai
Pancasila.
Atas
dasar itu maka Ekonomi Pancasila tidak semata-mata bersifat materialistis,
karena berlandaskan pada keimanan dan ketakwaan yang timbul dari pengakuan kita
pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Keimanan dan ketakwaan menjadi landasan
spiritual, moral dan etik bagi penyelenggaraan ekonomi dan pembangunan. Dengan
demikian sistem ekonomi Pancasila dikendalikan oleh kaidah-kaidah moral dan
etika, sehingga pembangunan nasional kita adalahpembangunan yang berakhlak.
Ekonomi
Pancasila, dengan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, menghormati martabat
kemanusiaan serta hak dan kewajiban asasi manusia dalam kehidupan ekonomi.
Dengan dasar-dasar moral dan kemanusiaan seperti di atas Ekonomi Pancasila
meskipun tidak menghalangi motivasi ekonomi untuk memperoleh keuntungan, namun
tidak mengenal predator-predator ekonomi, yang satu memangsa yang lain.
Sila
keempat dalam Pancasila menunjukkan pandangan bangsa Indonesia
mengenaikedaulatan rakyat dan bagaimana demokrasi dijalankan di Indonesia. Di
bidang ekonomi, Ekonomi Pancasila dikelola dalam sebuah sistem demokratis yang
dalam Undang-undang Dasar secara eksplisit disebut demokrasi ekonomi.
Nilai-nilai
dasar sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menunjukkan
betapa seluruh upaya pembangunan kita, untuk mengembangkan pertumbuhan ekonomi
dikaitkan dengan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada
terciptanya kemakmuran yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam
sistem ekonomi yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas
kekeluargaan.
Sistem
Ekonomi Pancasila adalah “aturan main” kehidupan ekonomi atau hubungan-hubungan
ekonomi antar pelaku-pelaku ekonomi yang didasarkan pada etika atau moral
Pancasila dengan tujuan akhir mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Etika Pancasila adalah landasan moral dan kemanusiaan yang dijiwai
semangat nasionalisme (kebangsaan) dan kerakyatan, yang kesemuanya bermuara
pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Beberapa
prinsip dasar yang ada dalam Sistem Ekonomi Pancasila tersebut antara lain
berkaitan dengan prinsip kemanusiaan, nasionalisme ekonomi, demokrasi ekonomi
yang diwujudkan dalam ekonomi kerakyatan, dan keadilan. Sebagaimana teori
ekonomi Neoklasik yang dibangun atas dasar faham liberal dengan
mengedepankan nilai individualisme dan kebebasan pasar (Mubyarto, 2002: 68),
sistem ekomomi Pancasila juga dibangun atas dasar nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat Indonesia, yang bisa berasal dari nlai-nilai agama, kebudayaan,
adat-istiadat, atau norma-norma, yang membentuk perilaku ekonomi masyarakat
Indonesia.
Lima Platform Sebagai Manifestasi Sila-Sila
Pancasila
Ekonomi Pancasila, sebagai ‘media’ untuk mengenali (detector)
bekerjanya paham dan moral ekonomi yang berciri neo-liberal kapitalistik di
Indonesia. Profesor Mubyarto merumuskan Ekonomi Pancasila sebagai sistem
ekonomi yang bermoral Pancasila, dengan lima platform sebagai
manifestasi sila-sila Pancasila yaitu moral agama, moral kemerataan sosial,
moral nasionalisme ekonomi, moral kerakyatan, dan moral keadilan sosial.
Ekonomi Pancasila merupakan prinsip-prinsip moral (ideologi) ekonomi yang
diderivasikan dari etika dan falsafah Pancasila. Oleh karena itu, selain berisi
cita-cita visioner terwujudnya keadilan sosial, ia juga mengangkat realitas
sosio-kultur ekonomi rakyat Indonesia, sekaligus ‘rambu-rambu’ yang bernilai
sejarah untuk tidak terjerumus pada paham liberalisme dan kapitalisme. Gagasan
Ekonomi Pancasila mulai dikembangkan Profesor Mubyarto sejak tahun 1981 dalam
suatu polemik tentang sistem ekonomi nasional sampai saat ini. Penerapan platform
Ekonomi Pancasila secara utuh (multi-sektoral) dan menyeluruh (nasional)
menempatkan Indonesia sebagai negara yang menganut sistem ekonomi khas
Indonesia yaitu Sistem Ekonomi
Pancasila.
a)
Platform
pertama Ekonomi Pancasila
yaitu moral agama, yang mengandung prinsip “roda kegiatan ekonomi bangsa
digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral”. Pada awalnya founding
fathers kita merumuskan ‘politik kemakmuran’, ‘keadilan sosial’, dan
‘pembangunan karakter’ (character building) bangsa yang dilandasi
semangat penerapan ajaran moral dan agama. Itu berarti pembangunan ekonomi
harus beriringan dengan pembangunan moral atau karakter bangsa, dan ditujukan
untuk menjamin keadilan antar sesama makhluk ciptaan Allah, tidak sekedar
pembangunan materiil semata. Inilah moral ekonomi rakyat yang tidak sekedar
mencari untung, melainkan memperkuat silaturahmi, menegakkan hukum-hukum Allah
(syari’ah), dan memperhatikan kepentingan sosial. Asalkan tidak malas untuk
turun ke desa-desa atau ke pelaku ekonomi rakyat, tidak sulit untuk menemukan
praktek ekonomi bermoral ini.
b)
Platform
kedua adalah “kemerataan
sosial, yaitu ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan
sosial, tidak membiarkan terjadi dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan
kesenjangan sosial”. Gagasan ini sudah lama tertuang dalam bagian penjelasan
Pasal 33 UUD 45 yang sudah diamandemen dalam konsep ‘kemakmuran masyarakatlah
yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang’. Sampai saat ini masih sulit
meyakini realisasi semangat tersebut karena setiap upaya ‘memakmurkan ekonomi’
ternyata yang lebih merasakan dampaknya tetap saja ‘orang besar’ baik pengusaha
ataupun pejabat pemerintahan. Masih saja ketimpangan sosial-ekonomi susah untuk
diperkecil. Di puncak piramida yang menguasai mayoritas kue nasional dihuni
segelintir manusia. Sebaliknya, di dasar piramida yang kuenya kecil diperebutkan
puluhan juta orang (Khudori, 2004).
c) Platform ketiga adalah “nasionalisme ekonomi; bahwa dalam era
globalisasi makin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang
kuat, tangguh, dan mandiri”. Platform ini sejalan dengan konsep founding
fathers kita, khususnya Bung Karno dan Bung Hatta, perihal ‘politik-ekonomi
berdikari’ yang bersendikan usaha mandiri (self-help), percaya diri (self
reliance), dan pilihan kebijakan luar negeri bebas-aktif. Kemandirian bukan
saja menjadi cita-cita akhir pembangunan nasional, melainkan juga prinsip yang
menjiwai setiap proses pembangunan itu sendiri. Ini mensyaratkan bahwa
pembangunan ekonomi haruslah didasarkan pada kekuatan lokal dan nasional untuk
tidak hanya mencapai ‘nilai tambah ekonomi’ melainkan juga ‘nilai tambah
sosial-kultural’, yaitu peningkatan martabat dan kemandirian bangsa (Swasono,
2003). Oleh karena itu pokok perhatian seharusnya diberikan pada upaya
pemberdayaan ekonomi rakyat sebagai tulang punggung ekonomi nasional. Ekonomi
rakyatlah yang bersifat mandiri, tidak ‘menyusahkan’ atau ‘membebani’ ekonomi
nasional di saat krisis, sehingga ‘daya tahan’ ekonomi mereka tidak perlu
diragukan lagi.
d)
Platform
keempat adalah “demokrasi
ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan; koperasi dan usaha-usaha
kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat”. Prinsip ini
dijiwai oleh semangat Pasal 33 UUD 1945 yang kini sudah berganti menjadi UUD
2002 (amandemen keempat). Perubahan ini telah menghilangkan seluruh penjelasan
UUD 1945 termasuk penjelasan Pasal 33 yang berisikan prinsip-prinsip demokrasi
ekonomi dan landasan konstitusional koperasi. Oleh karena itu, upaya penegakan
demokrasi ekonomi nampaknya berhadapan dengan upaya-upaya untuk memperjuangkan
pasar bebas, yang menjadi senjata penganut paham liberalisme dan kapitalisme.
Isu-isu yang kemudian dicuatkan diantaranya adalah privatisasi BUMN dan
liberalisasi impor.
e)
Platform
kelima (terakhir) adalah
“keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil antara perencanaan nasional
dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan
bertanggungjawab, menuju pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”. Tujuan keadilan sosial juga mencakup keadilan antar wilayah
(daerah), yang memungkinkan seluruh wilayah di Indonesia berkembang sesuai
potensi masing-masing. Oleh karena itu pengalaman pahit sentralisasi
politik-ekonomi era Orde Baru dapat kita jadikan pelajaran untuk menyusun
strategi pembangunan nasional. Inilah substansi Negara Kesatuan yang tidak
membiarkan terjadinya ketimpangan sosial-ekonomi antardaerah melalui pemusatan
aktivias ekonomi oleh pemerintah pusat, dan di pusat pemerintahan. Paradigma
yang kemudian dibangun adalah pembangunan Indonesia, bukannya pembangunan di
Indonesia seperti yang dilakukan Orde Baru dengan paham developmentalism
yang netral visi dan misi (Swasono, 2003).
Peran Pelaku Ekonomi
Setelah mencoba mengupayakan
pengertian-pengertian sistem ekonomi yang bagaimana yang ingin kita bangun pada
tataran filosofis, tantangan berikutnya adalah bagaimana mengoperasionalkannya.
Tantangan bagi kita sekarang adalah bagaimana secara tepat kita menjabarkannya
dalam konsep-konsep pembangunan.
Dalam upaya itu jelas tidak ada
jalan yang lurus dan mulus. Kadang-kadang kita harus berbelok ke kiri, berbelok
ke kanan, bahkan kadang-kadang harus mundur dulu sedikit kemudian maju lagi.
Yang penting kita harus menjaga bahwa arahnya tetap konsisten, betapa pun dari
saat ke saat kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan harus disesuaikan dengan
situasi. Betapa pun juga kita telah menyatakan bahwa Pancasila adalah ideologi
terbuka, yang terus berkembang mengikuti dinamik masyarakat. Namun, nilai-nilai
dasarnya tidak pernah berubah. Oleh karena itu, UUD 1945 mengamanatkan bahwa
dengan mengingat dinamik masyarakat, sekali dalam 5 tahun MPR memperhatikan
segala yang terjadi dan segala aliran-aliran pada waktu itu serta menentukan
haluan-haluan apa yang hendaknya dipakai untuk di kemudian hari.
Petunjukpetunjuk itu dituangkan dalam GBHN.
Dalam sistem ekonomi kita dikenal
adanya 3 bentuk usaha atau bangun usaha, yaitu usaha negara, koperasi, dan
usaha swasta. Bagaimana masing-masing berperan, memang merupakan topik
pembahasan dan perdebatan yang telah banyak dilakukan sejak kita kembali ke
Undang-undang Dasar (UUD) 1945 di tahun 1959. Berbagai usaha telah dilakukan
untuk menafsirkan amanat UUD 1945 dalam pasal 33. Bahkan ada di antaranya yang
kemudian kita anggap tidak sejalan dengan jiwa dan semangat UUD 1945 itu,
seperti sistem ekonomi terpimpin.
Selanjutnya koperasi sebagai salah
satu bentuk badan usaha yang sesuai dengan ketentuan Undang- ndang Dasar 1945,
diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berperan sesuai dengan hakikatnya
sebagai kesatuan ekonomi yang berwatak sosial. Sedangkan usaha swasta diberi
peranan yang sebesar-besarnya di dalam bidang-bidang di mana persaingan dan
kerja sama berdasarkan motivasi memperoleh laba memberikan hasil terbaik bagi
masyarakat diukur dengan jenis, jumlah, mutu dan harga barang dan jasa yang
dapat disediakan.
Salah satu tantangan kita sekarang
adalah bagaimana membangun usaha swasta agar dapat memotori mesin ekonomi kita
dalam memasuki era perdagangan bebas. Bagaimana kita membantu usaha swasta kita
untuk terus menerus meningkatkan dan memelihara daya saing.
Daya saing swasta kita merupakan
komponen penting dalam daya saing nasional. Untuk meningkatkan daya saing perlu
ditingkatkan efisiensi dan produktivitas sumber daya yang kita miliki. Ini
harus menjadi agenda nasional bangsa kita.
Selanjutnya, perlu pula dipikirkan
bagaimana kita memperbaiki struktur dunia usaha kita yang masih timpang, agar
lebih kukuh dan seimbang; yakni struktur dunia usaha di mana usaha besar,
menengah dan kecil saling bersinergi dan saling memperkuat dengan lapisan usaha
menengah sebagai tulang punggungnya. Persoalan kita bukan ukurannya besar atau
kecil, tetapi daya tahan dan daya saingnya. Yang besar tetapi lemah tidak ada
manfaatnya, yang kecil tetapi kuat justru merupakan unsur yang penting terhadap
keseluruhan sistem ekonomi kita. Oleh karena itu, agenda pembangunan kita bukan
mempertentangkan yang besar dengan yang kecil, tetapi membangun semua potensi
yang kita miliki.
Dalam proses itu yang besar dan
kecil harus bekerja sama, bermitra, untuk bersama-sama saling dukung dan saling
memperkuat. Kita harus ingat pesan Undang-undang Dasar mengenai asas
kekeluargaan dalam menyelenggarakan ekonomi.
Komentar / Pendapat
Sebagai kesimpulan, saya ingin
menggarisbawahi bahwa kita harus secara sungguh-sungguh melanjutkan upaya untuk
menyusun konsep ekonomi nasional yang berlandaskan nilai-nilai dasar yang
menjadi semangat bangsa ini pada waktu memerdekakan diri. Konsep tersebut selain
harus menjamin arah terwujudnya berbagai cita-cita itu, juga harus dapat
menjawab dua tantangan besar yang dewasa ini berada di hadapan kita, yaitu
memenangkan persaingan dalam era globalisasi dan membangun segenap potensi yang
ada, dengan perhatian pada upaya memberdayakan masyarakat yang ekonominya
tertinggal, sehingga dapat berperan secara aktif dalam kegiatan ekonomi
nasional.
Yang diperlukan Negara Indonesia
saat ini adalah kehidupan ekonomi yang digerakkan oleh seluruh lapisan
masyarakat, yang mencerminkan karakter Bangsa Indonesia, yaitu Ekonomi
Pancasila yaitu ekonomi pasar yang mengacu pada ideologi Pancasila.
Kita menyaksikan di sekeliling kita
bahwa semua sedang berubah. Dunia sedang dalam proses perubahan. Masyarakat
kita juga sedang dalam proses perubahan. Kita tidak boleh hanyut
begitu saja dalam proses perubahan itu, tetapi
kita harus tetap berpegang pada jatidiri kita yang dilandasi oleh nilai-nilai
Pancasila.
0 komentar:
Post a Comment