Download PPT tentang Kepemimpinan :
Featured Article
Sunday, 23 December 2012
Tuesday, 18 December 2012
TUGAS EKONOMI SYARIAH
Pengertian Sistem Ekonomi Pancasila (SEP)
Sistem ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi pasar
yang terkelola dan kendali pengelolaannya adalah nilai-nilai Pancasila. Dengan
perkataan lain ekonomi Pancasila tentulah harus dijiwai oleh nilai-nilai
Pancasila.
Atas
dasar itu maka Ekonomi Pancasila tidak semata-mata bersifat materialistis,
karena berlandaskan pada keimanan dan ketakwaan yang timbul dari pengakuan kita
pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Keimanan dan ketakwaan menjadi landasan
spiritual, moral dan etik bagi penyelenggaraan ekonomi dan pembangunan. Dengan
demikian sistem ekonomi Pancasila dikendalikan oleh kaidah-kaidah moral dan
etika, sehingga pembangunan nasional kita adalahpembangunan yang berakhlak.
Ekonomi
Pancasila, dengan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, menghormati martabat
kemanusiaan serta hak dan kewajiban asasi manusia dalam kehidupan ekonomi.
Dengan dasar-dasar moral dan kemanusiaan seperti di atas Ekonomi Pancasila
meskipun tidak menghalangi motivasi ekonomi untuk memperoleh keuntungan, namun
tidak mengenal predator-predator ekonomi, yang satu memangsa yang lain.
Sila
keempat dalam Pancasila menunjukkan pandangan bangsa Indonesia
mengenaikedaulatan rakyat dan bagaimana demokrasi dijalankan di Indonesia. Di
bidang ekonomi, Ekonomi Pancasila dikelola dalam sebuah sistem demokratis yang
dalam Undang-undang Dasar secara eksplisit disebut demokrasi ekonomi.
Nilai-nilai
dasar sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menunjukkan
betapa seluruh upaya pembangunan kita, untuk mengembangkan pertumbuhan ekonomi
dikaitkan dengan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada
terciptanya kemakmuran yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam
sistem ekonomi yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas
kekeluargaan.
Sistem
Ekonomi Pancasila adalah “aturan main” kehidupan ekonomi atau hubungan-hubungan
ekonomi antar pelaku-pelaku ekonomi yang didasarkan pada etika atau moral
Pancasila dengan tujuan akhir mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Etika Pancasila adalah landasan moral dan kemanusiaan yang dijiwai
semangat nasionalisme (kebangsaan) dan kerakyatan, yang kesemuanya bermuara
pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Beberapa
prinsip dasar yang ada dalam Sistem Ekonomi Pancasila tersebut antara lain
berkaitan dengan prinsip kemanusiaan, nasionalisme ekonomi, demokrasi ekonomi
yang diwujudkan dalam ekonomi kerakyatan, dan keadilan. Sebagaimana teori
ekonomi Neoklasik yang dibangun atas dasar faham liberal dengan
mengedepankan nilai individualisme dan kebebasan pasar (Mubyarto, 2002: 68),
sistem ekomomi Pancasila juga dibangun atas dasar nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat Indonesia, yang bisa berasal dari nlai-nilai agama, kebudayaan,
adat-istiadat, atau norma-norma, yang membentuk perilaku ekonomi masyarakat
Indonesia.
Lima Platform Sebagai Manifestasi Sila-Sila
Pancasila
Ekonomi Pancasila, sebagai ‘media’ untuk mengenali (detector)
bekerjanya paham dan moral ekonomi yang berciri neo-liberal kapitalistik di
Indonesia. Profesor Mubyarto merumuskan Ekonomi Pancasila sebagai sistem
ekonomi yang bermoral Pancasila, dengan lima platform sebagai
manifestasi sila-sila Pancasila yaitu moral agama, moral kemerataan sosial,
moral nasionalisme ekonomi, moral kerakyatan, dan moral keadilan sosial.
Ekonomi Pancasila merupakan prinsip-prinsip moral (ideologi) ekonomi yang
diderivasikan dari etika dan falsafah Pancasila. Oleh karena itu, selain berisi
cita-cita visioner terwujudnya keadilan sosial, ia juga mengangkat realitas
sosio-kultur ekonomi rakyat Indonesia, sekaligus ‘rambu-rambu’ yang bernilai
sejarah untuk tidak terjerumus pada paham liberalisme dan kapitalisme. Gagasan
Ekonomi Pancasila mulai dikembangkan Profesor Mubyarto sejak tahun 1981 dalam
suatu polemik tentang sistem ekonomi nasional sampai saat ini. Penerapan platform
Ekonomi Pancasila secara utuh (multi-sektoral) dan menyeluruh (nasional)
menempatkan Indonesia sebagai negara yang menganut sistem ekonomi khas
Indonesia yaitu Sistem Ekonomi
Pancasila.
a)
Platform
pertama Ekonomi Pancasila
yaitu moral agama, yang mengandung prinsip “roda kegiatan ekonomi bangsa
digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral”. Pada awalnya founding
fathers kita merumuskan ‘politik kemakmuran’, ‘keadilan sosial’, dan
‘pembangunan karakter’ (character building) bangsa yang dilandasi
semangat penerapan ajaran moral dan agama. Itu berarti pembangunan ekonomi
harus beriringan dengan pembangunan moral atau karakter bangsa, dan ditujukan
untuk menjamin keadilan antar sesama makhluk ciptaan Allah, tidak sekedar
pembangunan materiil semata. Inilah moral ekonomi rakyat yang tidak sekedar
mencari untung, melainkan memperkuat silaturahmi, menegakkan hukum-hukum Allah
(syari’ah), dan memperhatikan kepentingan sosial. Asalkan tidak malas untuk
turun ke desa-desa atau ke pelaku ekonomi rakyat, tidak sulit untuk menemukan
praktek ekonomi bermoral ini.
b)
Platform
kedua adalah “kemerataan
sosial, yaitu ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan
sosial, tidak membiarkan terjadi dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan
kesenjangan sosial”. Gagasan ini sudah lama tertuang dalam bagian penjelasan
Pasal 33 UUD 45 yang sudah diamandemen dalam konsep ‘kemakmuran masyarakatlah
yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang’. Sampai saat ini masih sulit
meyakini realisasi semangat tersebut karena setiap upaya ‘memakmurkan ekonomi’
ternyata yang lebih merasakan dampaknya tetap saja ‘orang besar’ baik pengusaha
ataupun pejabat pemerintahan. Masih saja ketimpangan sosial-ekonomi susah untuk
diperkecil. Di puncak piramida yang menguasai mayoritas kue nasional dihuni
segelintir manusia. Sebaliknya, di dasar piramida yang kuenya kecil diperebutkan
puluhan juta orang (Khudori, 2004).
c) Platform ketiga adalah “nasionalisme ekonomi; bahwa dalam era
globalisasi makin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang
kuat, tangguh, dan mandiri”. Platform ini sejalan dengan konsep founding
fathers kita, khususnya Bung Karno dan Bung Hatta, perihal ‘politik-ekonomi
berdikari’ yang bersendikan usaha mandiri (self-help), percaya diri (self
reliance), dan pilihan kebijakan luar negeri bebas-aktif. Kemandirian bukan
saja menjadi cita-cita akhir pembangunan nasional, melainkan juga prinsip yang
menjiwai setiap proses pembangunan itu sendiri. Ini mensyaratkan bahwa
pembangunan ekonomi haruslah didasarkan pada kekuatan lokal dan nasional untuk
tidak hanya mencapai ‘nilai tambah ekonomi’ melainkan juga ‘nilai tambah
sosial-kultural’, yaitu peningkatan martabat dan kemandirian bangsa (Swasono,
2003). Oleh karena itu pokok perhatian seharusnya diberikan pada upaya
pemberdayaan ekonomi rakyat sebagai tulang punggung ekonomi nasional. Ekonomi
rakyatlah yang bersifat mandiri, tidak ‘menyusahkan’ atau ‘membebani’ ekonomi
nasional di saat krisis, sehingga ‘daya tahan’ ekonomi mereka tidak perlu
diragukan lagi.
d)
Platform
keempat adalah “demokrasi
ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan; koperasi dan usaha-usaha
kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat”. Prinsip ini
dijiwai oleh semangat Pasal 33 UUD 1945 yang kini sudah berganti menjadi UUD
2002 (amandemen keempat). Perubahan ini telah menghilangkan seluruh penjelasan
UUD 1945 termasuk penjelasan Pasal 33 yang berisikan prinsip-prinsip demokrasi
ekonomi dan landasan konstitusional koperasi. Oleh karena itu, upaya penegakan
demokrasi ekonomi nampaknya berhadapan dengan upaya-upaya untuk memperjuangkan
pasar bebas, yang menjadi senjata penganut paham liberalisme dan kapitalisme.
Isu-isu yang kemudian dicuatkan diantaranya adalah privatisasi BUMN dan
liberalisasi impor.
e)
Platform
kelima (terakhir) adalah
“keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil antara perencanaan nasional
dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan
bertanggungjawab, menuju pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”. Tujuan keadilan sosial juga mencakup keadilan antar wilayah
(daerah), yang memungkinkan seluruh wilayah di Indonesia berkembang sesuai
potensi masing-masing. Oleh karena itu pengalaman pahit sentralisasi
politik-ekonomi era Orde Baru dapat kita jadikan pelajaran untuk menyusun
strategi pembangunan nasional. Inilah substansi Negara Kesatuan yang tidak
membiarkan terjadinya ketimpangan sosial-ekonomi antardaerah melalui pemusatan
aktivias ekonomi oleh pemerintah pusat, dan di pusat pemerintahan. Paradigma
yang kemudian dibangun adalah pembangunan Indonesia, bukannya pembangunan di
Indonesia seperti yang dilakukan Orde Baru dengan paham developmentalism
yang netral visi dan misi (Swasono, 2003).
Peran Pelaku Ekonomi
Setelah mencoba mengupayakan
pengertian-pengertian sistem ekonomi yang bagaimana yang ingin kita bangun pada
tataran filosofis, tantangan berikutnya adalah bagaimana mengoperasionalkannya.
Tantangan bagi kita sekarang adalah bagaimana secara tepat kita menjabarkannya
dalam konsep-konsep pembangunan.
Dalam upaya itu jelas tidak ada
jalan yang lurus dan mulus. Kadang-kadang kita harus berbelok ke kiri, berbelok
ke kanan, bahkan kadang-kadang harus mundur dulu sedikit kemudian maju lagi.
Yang penting kita harus menjaga bahwa arahnya tetap konsisten, betapa pun dari
saat ke saat kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan harus disesuaikan dengan
situasi. Betapa pun juga kita telah menyatakan bahwa Pancasila adalah ideologi
terbuka, yang terus berkembang mengikuti dinamik masyarakat. Namun, nilai-nilai
dasarnya tidak pernah berubah. Oleh karena itu, UUD 1945 mengamanatkan bahwa
dengan mengingat dinamik masyarakat, sekali dalam 5 tahun MPR memperhatikan
segala yang terjadi dan segala aliran-aliran pada waktu itu serta menentukan
haluan-haluan apa yang hendaknya dipakai untuk di kemudian hari.
Petunjukpetunjuk itu dituangkan dalam GBHN.
Dalam sistem ekonomi kita dikenal
adanya 3 bentuk usaha atau bangun usaha, yaitu usaha negara, koperasi, dan
usaha swasta. Bagaimana masing-masing berperan, memang merupakan topik
pembahasan dan perdebatan yang telah banyak dilakukan sejak kita kembali ke
Undang-undang Dasar (UUD) 1945 di tahun 1959. Berbagai usaha telah dilakukan
untuk menafsirkan amanat UUD 1945 dalam pasal 33. Bahkan ada di antaranya yang
kemudian kita anggap tidak sejalan dengan jiwa dan semangat UUD 1945 itu,
seperti sistem ekonomi terpimpin.
Selanjutnya koperasi sebagai salah
satu bentuk badan usaha yang sesuai dengan ketentuan Undang- ndang Dasar 1945,
diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berperan sesuai dengan hakikatnya
sebagai kesatuan ekonomi yang berwatak sosial. Sedangkan usaha swasta diberi
peranan yang sebesar-besarnya di dalam bidang-bidang di mana persaingan dan
kerja sama berdasarkan motivasi memperoleh laba memberikan hasil terbaik bagi
masyarakat diukur dengan jenis, jumlah, mutu dan harga barang dan jasa yang
dapat disediakan.
Salah satu tantangan kita sekarang
adalah bagaimana membangun usaha swasta agar dapat memotori mesin ekonomi kita
dalam memasuki era perdagangan bebas. Bagaimana kita membantu usaha swasta kita
untuk terus menerus meningkatkan dan memelihara daya saing.
Daya saing swasta kita merupakan
komponen penting dalam daya saing nasional. Untuk meningkatkan daya saing perlu
ditingkatkan efisiensi dan produktivitas sumber daya yang kita miliki. Ini
harus menjadi agenda nasional bangsa kita.
Selanjutnya, perlu pula dipikirkan
bagaimana kita memperbaiki struktur dunia usaha kita yang masih timpang, agar
lebih kukuh dan seimbang; yakni struktur dunia usaha di mana usaha besar,
menengah dan kecil saling bersinergi dan saling memperkuat dengan lapisan usaha
menengah sebagai tulang punggungnya. Persoalan kita bukan ukurannya besar atau
kecil, tetapi daya tahan dan daya saingnya. Yang besar tetapi lemah tidak ada
manfaatnya, yang kecil tetapi kuat justru merupakan unsur yang penting terhadap
keseluruhan sistem ekonomi kita. Oleh karena itu, agenda pembangunan kita bukan
mempertentangkan yang besar dengan yang kecil, tetapi membangun semua potensi
yang kita miliki.
Dalam proses itu yang besar dan
kecil harus bekerja sama, bermitra, untuk bersama-sama saling dukung dan saling
memperkuat. Kita harus ingat pesan Undang-undang Dasar mengenai asas
kekeluargaan dalam menyelenggarakan ekonomi.
Komentar / Pendapat
Sebagai kesimpulan, saya ingin
menggarisbawahi bahwa kita harus secara sungguh-sungguh melanjutkan upaya untuk
menyusun konsep ekonomi nasional yang berlandaskan nilai-nilai dasar yang
menjadi semangat bangsa ini pada waktu memerdekakan diri. Konsep tersebut selain
harus menjamin arah terwujudnya berbagai cita-cita itu, juga harus dapat
menjawab dua tantangan besar yang dewasa ini berada di hadapan kita, yaitu
memenangkan persaingan dalam era globalisasi dan membangun segenap potensi yang
ada, dengan perhatian pada upaya memberdayakan masyarakat yang ekonominya
tertinggal, sehingga dapat berperan secara aktif dalam kegiatan ekonomi
nasional.
Yang diperlukan Negara Indonesia
saat ini adalah kehidupan ekonomi yang digerakkan oleh seluruh lapisan
masyarakat, yang mencerminkan karakter Bangsa Indonesia, yaitu Ekonomi
Pancasila yaitu ekonomi pasar yang mengacu pada ideologi Pancasila.
Kita menyaksikan di sekeliling kita
bahwa semua sedang berubah. Dunia sedang dalam proses perubahan. Masyarakat
kita juga sedang dalam proses perubahan. Kita tidak boleh hanyut
begitu saja dalam proses perubahan itu, tetapi
kita harus tetap berpegang pada jatidiri kita yang dilandasi oleh nilai-nilai
Pancasila.Wednesday, 31 October 2012
UAS Kewirausahaan
SOAL UAS
KEWIRAUSAHAAN
1. Dalam
Permendiknas No. 13 Tahun 2007 Tentang
Standar Kompetensi Kepala Sekolah itu ada 5 Standar Kompetensi Kepala Sekolah,
diantaranya; Standar Kompetensi Kewirausahaan Kepala Sekolah. Pertanyaan :
a. Apa
yang dimaksud dengan Standar Kompetensi Kewirausahaan Kepala Sekolah (dilihat
dari latar belakang Pengertian, fungsi, kriteria, tujuan, dimensi dan indikator
kompetensi kewirausahaan KepSek)
Jawaban :
Untuk mendorong berkembangnya jiwa
kewirausahaan, maka kepala sekolah haruslah memiliki kompetensi. Kompetensi
tersebut merupakan syarat utama bagi kepala sekolah yang ingin melakukan proses
perjalanan kreativitas berfikir dan inovasi tentang keinginan yang
diharapkannya untuk kemajuan sekolah.
1.
Menciptakan
inovasi yang berguna bagi pengembangan sekolah/madrasah.
2. Bekerja
keras untuk mencapai keberhasilan sekolah/madrasah sebagai organisasi
pembelajar yang efektif.
3. Memiliki
motivasi yang kuat untuk sukses dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya
sebagai pemimpin sekolah/madrasah.
4. Pantang
menyerah dan selalu mencari solusi terbaik dalam menghadapi kendala yang
dihadapi sekolah/madrasah.
5.
Memiliki
naluri kewirausahaan dalam mengelola kegiatan produksi/jasa sekolah/madrasah
sebagai sumber belajar peserta didik.
- Latar belakang pengertian
Pada tahun 2007 lalu, pemerintah melalui Menteri
Pendidikan Nasional telah meluncurkan Permendiknas No. 13 Tahun 2007 tentang
Standar Kepala Sekolah/Madrasah, di dalamnya mengatur tentang persyaratan
kualifikasi dan kompetensi yang seyogyanya dimiliki oleh seorang kepala
sekolah. Dan didalam Permendiknas tersebut di jelaskan pula kompetensi
kewirausahaan kepala sekolah.
- Fungsi
Kepala sekolah dalam perannya
sebagai wirausahawan, memiliki fungsi sebagai berikut: a) ambisi untuk maju,
berani menentukan resiko untuk meraih peluang, b) pola pikir yang positif, c)
percaya diri, kuat dan tahan mental, naluri dan intitusi yang tajam,
kreatifitas tinggi, disiplin, memiliki kemampuan menjual dan memiliki tanggung
jawab moral.
- Kriteria
1) Kepala sekolah mampu sebagai educator (pendidik)
Kepala
sekolah yang menunjukkan komitmen tinggi dan fokus terhadap pengembangan
kurikulum dan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya tentu saja akan sangat
memperhatikan tingkat kompetensi yang dimiliki gurunya, sekaligus juga akan
senantiasa berusaha memfasilitasi dan mendorong agar para guru dapat secara
terus menerus meningkatkan kompetensinya, sehingga kegiatan belajar mengajar
dapat berjalan efektif dan efisien.
2) Kepala sekolah mampu sebagai manager
Kepala
sekolah dapat memfasilitasi dan memberikan kesempatan yang luas kepada pendidik
untuk melaksanakan kegiatan pengembangan profesi melalui kegiatan pendidikan
dan pelatihan di luar sekolah.
3) Kepala sekolah mampu sebagai administrator
Kepala
sekolah mengalokasikan anggaran yang memadai bagi upaya peningkatan kompetensi
guru.
4) Kepala sekolah mampu sebagai supervisor
Kepala
sekolah perlu melaksanakan kegiatan supervisi yang dapat dilakukan melalui kegiatan kunjungan kelas untuk
mengamati proses pembelajaran secara langsung.
5)
Kepala
Sekolah mampu sebagai leader
(pemimpin)
Kepala
sekolah menerapkan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan
berorientasi pada manusia (Kedisiplinan, wibawa, bertauladan)
6)
Kepala
Sekolah mampu sebagai pencipta iklim kerja
7)
Kepala
Sekolah mampu sebagai wirausahawan
Kepala
sekolah menciptakan pembaharuan, keunggulan komparatif, serta memanfaatkan
berbagai peluang kepala sekolah dengan sikap kewirausahaan yang kuat akan
berani melakukan perubahan-perubahan yang inovatif di sekolahnya.
- Tujuan
Agar kepala sekolah inovatif, kerja keras, memiliki motivasi kuat,
pantang menyerah, dan kreatif dalam mencari solusi terbaik sehingga mampu
menjadi contoh bagi warga sekolahnya dan menularkan sifat kewirausahaannya
kepada warga sekolahnya.
- Dimensi
Dimensi
kompetensi kewirausahaan kepala sekolah dalam Wahyudi (2009:31) dijabarkan
sebagai berikut:
1. Menciptakan
inovasi yang berguna bagi pengembangan sekolah.
2. Bekerja keras
untuk mencapai keberhasilan sekolah.
3. Memiliki motivasi
yang kuat untuk sukses dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai
pemimpin sekolah.
4. Pantang menyerah
dan selalu mencari solusi terbaik dalam menghadapi kendala yang dihadapi
sekolah.
5. Memiliki naluri
kewirausahaan dalam mengelola kegiatan produksi/jasa sekolah sebagai sumber
belajar peserta didik.
- Indikator kompentensi kewirausahan Kepala Sekolah
Kepala
sekolah yang memiliki jiwa wirausaha pada umumnya mempunyai tujuan dan
pengharapan tertentu yang dijabarkan dalam visi, misi, tujuan dan rencana
strategis yang realistik. Realistik berarti tujuan disesuaikan dengan sumber
daya pendukung yang dimiliki. Semakin jelas tujuan yang ditetapkan semakin
besar peluang untuk dapat meraihnya. Dengan demikian, kepala sekolah yang
berjiwa wirausaha harus memiliki tujuan yang jelas dan terukur dalam
mengembangkan sekolah. Untuk mengetahui apakah tujuan tersebut dapat dicapai
maka visi, misi, tujuan dan sasarannya dikembangkan ke dalam indikator yang
lebih terinci dan terukur untuk masing-masing aspek atau dimensi. Dari
indikator tersebut juga dapat dikembangkan menjadi program dan sub-program yang
lebih memudahkan implementasinya dalam pengembangan sekolah.
Untuk
menjadi kepala sekolah yang berjiwa wirausaha harus menerapkan beberapa hal
berikut: (1) berpikir kreatif dan inovatif, (2) mampu membaca arah perkembangan
dunia pendidikan, (3) dapat menunjukkan nilai lebih dari beberapa atau seluruh
elemen sistem persekolahan yang dimiliki, (4) perlu menumbuhkan kerjasama tim,
sikap kepemimpinan, kebersamaan dan hubungan yang solid dengan segenap warga
sekolah, (5) mampu membangun pendekatan personal yang baik dengan lingkungan
sekitar dan tidak cepat berpuas diri dengan apa yang telah diraih, (6) selalu
memperbaiki ilmu pengetahuan yang dimiliki dan teknologi yang digunakan untuk
meningkatkan kualitas ilmu amaliah dan amal ilmiahnya, (7) bisa menjawab
tantangan masa depan dengan bercermin pada masa lalu dan masa kini agar mampu
mengamalkan konsep manajemen dan teknologi informasi.
b. Adakah keterkaitan Standar Kompetensi
Kewirausahaan KepSek dengan prilaku kewirausahaan guru, Budaya kewirausahaan, dan
Teori pembelajaran kewirausahaan ?
Jawaban
:
Kompetensi kewirausahaan kepala sekolah dengan
kewirausahaan guru terdapat kaitan yang sangat erat. Dalam hal ini peran kepala
sekolah wajib meningkatkan seluruh warga sekolah termasuk kompetensi guru baik
dalam prilaku kewirausahaan guru, budaya kewirasuahaan dan teori pembelajaran
kewirausahaan
Agar proses pendidikan dapat berjalan efektif dan efisien,
guru dituntut memiliki kompetensi yang memadai, baik dari segi jenis maupun
isinya. Namun, jika kita selami lebih dalam lagi tentang isi yang terkandung
dari setiap jenis kompetensi, sebagaimana disampaikan oleh para ahli maupun
dalam perspektif kebijakan pemerintah, kiranya untuk menjadi guru yang kompeten
bukan sesuatu yang sederhana, untuk mewujudkan dan meningkatkan kompetensi guru
diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan komprehensif.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui
optimalisasi peran kepala sekolah. Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir (2000)
mengemukakan bahwa “ kepala sekolah sebagai pengelola memiliki tugas
mengembangkan kinerja personal, terutama meningkatkan kompetensi profesional
guru.” Perlu digaris bawahi bahwa yang dimaksud dengan kompetensi profesional
di sini, tidak hanya berkaitan dengan penguasaan materi semata, tetapi mencakup
seluruh jenis dan isi kandungan kompetensi sebagaimana telah dipaparkan di
atas.
Sejauh
mana kepala sekolah dapat mewujudkan peran-peran di atas, secara langsung maupun
tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kompetensi
guru, budaya kewirausahaan dan teori pembelajaran yang pada gilirannya dapat
membawa efek terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah.
2. Apakah yang anda ketahui dengan
teori Pembelajaran kewirausahaan ?
a. (dilihat
dari Planning, Organizing, Actuating, Controling dan Evaluating (POAC), pendapat siapa ? Buku karangan siapa ?
Jawaban
:
Menurut saya yang dimaksud dengan teori pembelajaran kewirausahaan
adalah proses pembelajaran penginternalisasian nilai-nilai kewirausahaan
ke dalam pembelajaran sehingga hasilnya diperolehnya kesadaran akan pentingnya
nilai-nilai, terbentuknya karakter wirausaha dan pembiasaan nilai-nilai
kewirausahaan ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses
pembelajaran baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas.
- Penerapan fungsi perencanaan dalam teori pembelajaran kewirausahaan
Perencanaan
adalah proses penetapan dan pemanfaatan sumber daya secara terpadu yang
diharapkan dapat menunjang kegiatan-kegiatan dan upaya-upaya yang akan
dilaksanakan secara efesien dan efektif dalam mencapai tujuan. Perencanaan
dapat diartikan sebagai proses penyusunan berbagai keputusan yang akan
dilaksanakan pada masa yang akan datang untuk mencapai tujuan yang ditentukan.
Perencanaan adalah awal dari semua proses yang rasional, dan mengandung sifat
optimisme yang didasarkan atas kepercayaan bahwa akan dapat mengatasi berbagai
macam permasalahan. Dalam konteks pembelajaran perencanaan dapat diartikan sebagai
proses penyusunan materi pelajaran, penggunaan media pembelajaran, penggunaan
pendekatan atau metode pembelajaran, dalam suatu alokasi waktu yang akan
dilaksanakan pada masa satu semester yang akan datang untuk mencapai tujuan
yang ditentukan.
Menurut Sagala (2009:142) prinsip perencanaan pembelajaran
meliputi:
a) Menetapkan
apa yang mau dilakukan oleh guru, kapan dan bagaimana cara melakukannya dalam
implementasi pembelajaran.
b) Membatasi
sasaran atas dasar tujuan instruksional khusus dan menetapkan pelaksanaan kerja
untuk mencapai hasil yang
maksimal melalui proses penentuan target pembelajaran.
c) Mengembangkan alternatif-alternatif yang sesuai
dengan strategi pembelajaran.
d) Mengumpulkan
dan menganalisis informasi yang penting untuk mendukung kegiatan pembelajaran.
e) Mempersiapkan
mengkomunikasikan rencana-rencana dan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan
pembelajaran kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Berdasarkan
hal di tersebut, dapat diasumsikan bahwa, jika kelima prinsip-prinsip
perencanaan pembelajaran di atas terpenuhi, secara teoritik perencanaan
pembelajaran akan memberi penegasan untuk mencapai tujuan sesuai skenario
yang disusun, yang dituangkan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran, sekaligus
merupakan langkah nyata penjabaran silabus mata pelajaran yang diajarkan, dalam
hal ini teori pembelajaran kewirauasahaan.
- Penerapan fungsi pengorganisasian dalam kegiatan pembelajaran
Kegiatan
pengorganisasian pembelajaran bagi tiap guru dalam institusi sekolah dimaksudkan
untuk menentukan siapa yang akan melaksanakan tugas sesuai prinsip
pengorganisasian, dengan membagi tanggung jawab setiap personel sekolah dengan
jelas sesuai bidang, wewenang, mata pelajaran, dan tanggung jawabnya. Dalam hal
ini Gorton (dalam Sagala, 2009:143) mengemukakan pengorganisasian adalah
terbaginya tugas ke dalam berbagai unsur organisasi, dengan kata lain
pengorganisasian yang efektif adalah membagi habis dan menstrukturkan
tugas-tugas ke dalam sub atau komponen-komponen organisasi. Sedangkan Sutisna
(dalam Sagala, 2009:143) menyatakan bahwa, pengorganisasian sebagai kegiatan
menyusun struktur dan membentuk hubungan-hubungan agar diperoleh kesesuaian
dalam usaha mencapai tujuan bersama.
Pengorganisasian
pembelajaran menurut Sagala (2009:144) meliputi lima aspek, yaitu: a)
menyediakan fasilitas, perlengkapan dan personel yang diperlukan untuk
penyusunan kerangka yang efesien dalam melaksanakan rencana-rencana melalui
suatu proses penetapan pelaksanaan pembelajaran yang diperlukan untuk menyelesaikannya,
b) pengelompokan komponen pembelajaran dalam struktur sekolah secara teratur,
c) membentuk struktur wewenang dan mekanisme koordinasi pembelajaran, d)
merumuskan dan menetapkan metode dan prosedur pembelajaran, e) memilih,
mengadakan latihan dan pendidikan dalam upaya pertumbuhan jabatan guru
dilengkapi dengan sumber-sumber lain yang diperlukan.
Dengan
demikian, pengorganisasian pembelajaran ini memberi gambaran apakah seorang
guru mampu mengelola kelas dengan menggunakan teknik dan langkah tertentu
seperti yang tertuang dalam perencanaan pembelajaran yang dibuatnya sendiri,
sehingga proses pembelajaran berlangsung dengan suasana yang harmonis,
edukatif, meaning full, berkualitas, dan mengarah pada pencapaian tujuan yang
telah ditentukan.
- Penerapan fungsi penggerakan dalam kegiatan pembelajaran
Menggerakkan
(actuating) menurut Terry (dalam Sagala, 2009:145) berarti
merangsang anggota-anggota kelompok untuk melaksanakan tugas-tugas dengan
antusias dan kemampuan yang baik. Dalam konteks pembelajaran di sekolah tugas
menggerakkan dilakukan oleh kepala sekolah sebagai pemimpin instruksional,
sedangkan dalam konteks kelas pengerakkan dilakukan oleh guru sebagai
penanggung jawab pembelajaran. Oleh karena itu kepala sekolah sebagai pemimpin
dan guru sebagai penanggung jawab pembelajaran mempunyai peran yang sangat
penting dalam menggerakkan orang-orang yang terlibat dalam
melaksanakan program belajar dan mengajar pada institut sekolah. Dengan
demikian penggerakan juga dapat diartikan sebagai
pelaksanaan dan kepemimpinan bagi sekolah maupun dalam kegiatan
pembelajaran.
- Penerapan fungsi pengawasan dalam kegiatan pembelajaran
Pengawasan
adalah suatu konsep yang luas yang dapat diterapkan pada manusia, benda, dan
organisasi. Anthony, Dearden, dan Bedford (dalam Sagala, 2009:146) mengemukakan
bahwa, pengawasan dimaksudkan untuk memastikan agar anggota organisasi
melaksanakan apa yang dikehendaki dengan mengumpulkan, menganalisis, dan
mengevaluasi informasi serta memanfaatkannya untuk mengendalikan organisasi.
Jadi pengawasan ini dilihat dari segi input, proses dan out put bahkan out
come. Dalam konteks pembelajaran pengawasan dilakukan oleh kepala sekolah
terhadap seluruh kelas apakah terjadi kegiatan pembelajaran. Kemudian mengawasi
pihak-pihak yang terkait dengan pembelajaran apakah dengan sungguh-sungguh
memberikan pelayanan kebutuhan pembelajaran.
Perbaikan dapat dilakukan baik sedang
berlangsungnya proses pembelajaran, maupun pada program pembelajaran berikutnya
sebagai implikasi dari pengawasan pembelajaran yang dilakukan oleh guru maupun
kepala sekolah. Menurut Sagala (2009:146) pengawasan dalam perencanaan
pembelajaran meliputi: a) mengevaluasi pelaksanaan kegiatan dengan rencana, b)
melaporkan penyimpangan untuk tindakan koreksi dan merumuskan tindakan koreksi,
menyusun standar-standar pembelajaran dan sasaran-sasaran, dan c) menilai
pekerjaan dan melakukan tindakan koreksi terhadap penyimpangan-penyimpangan
baik institusional satuan pendidikan maupun proses pembelajaran. Guru harus
mengatur pikiran sendiri yang kacau, ia harus dapat melihat dengan jelas
apa-apa yang sedang ia usahakan untuk dikerjakan, dan mengutarakan dengan cara
logis dan teratur dengan landasan yang benar.
Sumber
: Nurkholis, Manajemen berbasis sekolah : teori, model dan aplikasi, Jakarta :
Grasindo, 2002.
Tuesday, 30 October 2012
Manajemen Perkantoran
Di semua kota pencarian lebih banyak
ruang kantor untuk tempat bagi suatu pabrik atau kantor yang sedang berkembang
terus berlanjut. Biaya yang tinggi untuk ruang kantor tersebut, peningkatan
biaya kebersihan dan pemeliharaan, dan usaha untuk menyelesaikan masalah
produksi dan status pekerja melalui lingkungan kerja yang lebih baik adalah
faktor-faktor yang menimbulkan motivasi untuk memberikan perhatian yang lebih
besar bagi pengaturan ruang kantor.
Ruang yang tersedia untuk melakukan
pekerjaan kantor merupakan “geografi” dari kantor tersebut. Sampai sekarang
pengertian “tata letak kantor” biasanya digunakan untuk menggolongkan
pembahasan mengenai bagaimana menggunakan ruang kantor secara efektif. Konsep
yang lebih baru dengan penekanan alokasi ruang untuk pekerjaan kantor telah
mengarah pada penggunaan pengertian “manajemen ruang” untuk
menggantikan “tata letak kantor”. Untuk memahami konsep terbaru mengenai
manajemen ruang, perlu diingat bahwa fungsi kantor adalah untuk mengolah
informasi. Dalam kantor, informasi mengalir dalam suatu alur sebagaimana aliran
bahan mentah dalam sebuah pabrik. Masing-masing memiliki rute atau jalur
pengangkutan, waktu perjalanan masing-masing harus diminimumkan, dan
masing-masing harus memiliki keinginan yang kuat untuk menjaga jumlah tempat
kerja untuk memuat atau mengeluarkan informasi (atau bahan mentah) pada jumlah
minimum tanpa mengorbankan kemudahan mendapatkan jasa atau produk tersebut.
Dengan mengabaikan jenis produk (produk pabrik, produk kertas atau hanya
komunikasi lisan), bagaimana ruang direncanakan dan digunakan mempengaruhi
efisiensi dan produktivitas pekerja.
Semua orang harus mempertimbangkan
juga kebenaran konsep kantor masa lalu sebagai pusat pelayanan dari suatu
perusahaan. Robert Propst, presiden dari Herman Miller Research
Corporation dan seorang Kritikus fungsi kantor yang bermutu, berpendapat
bahwa tujuan kantor masa lalu adalah “untuk menyediakan satu lingkungan yang
kondusif bagi individu untuk bekerja”. Kantor tersebut harus tumbuh bersama dan
menjadi satu perluasan dari individu dan pekerjaan yang dilakukan individu
tersebut.
Kebutuhan untuk mengatur ruang
secara cermat merupakan hal penting ketika satu gedung kantor baru sedang
direncanakan, satu gedung tua sedang direnovasi, atau tata letak gedung saat
ini sedang dianalisa dengan tujuan akan mengurangi jumlah orang, perabotan dan
peralatan. Perencanaan sebuah gedung kantor baru atau renovasi sebuah gedung
lama membutuhkan satu kajian yang cermat untuk menentukan penggunaan ruang yang
paling efisien. Dalam bab ini tujuan dan prinsip-prinsip manajemen ruang
didiskusikan dan penerapan tata letak yang baik diuji dan digambarkan.
TUJUAN
MANAJEMEN RUANG KANTOR
Manajemen ruang kantor menyangkut
penampilan fisik kantor, terutama yang berkaitan dengan disain gedung (misal :
lokasi jendela, lift, dan sistem pipa air, pemanas, listrik); kebutuhan
organisasi termasuk lokasi bagian-bagian kantor, fasilitas khusus seperti,
pelayanan lokasi, instalasi komputer dan kebutuhan eksekutif kantor; tempat
pekerjaan dilakukan; sifat dan jumlah pekerja yang saat ini bekerja sebagaimana
jumlah yang direncanakan di masa depan; dan peralatan dan perabotan yang
dibutuhkan untuk melengkapi pekerjaan yang ditetapkan.
Manajemen ruang kantor memiliki tujuan spesifik :
- Untuk meyakinkan pekerja juga pelanggan dan publik umum mengenai kenyamanan dan ketenangan.
- Untuk mengembangkan alur kerja yang efektif dan berbiaya rendah.
- Untuk mendisain tempat kerja yang kondusif bagi metode kerja yang baik dan yang sejalan dengan sistem alur kerja.
- Untuk mengkoordinasi penggunaan ruang dengan semua faktor-faktor lingkungan yang berkaitan (seperti : pemanas, lampu, warna dan pengatur kebisingan).
- Untuk mengizinkan fleksibilitas tata letak bagi pengaturan ulang tempat kerja dan untuk perluasan atau pengembangan kebutuhan ruang.
- Untuk mempertimbangkan secara cermat kebutuhan komunikasi antar personil kantor dengan menyediakan satu lingkungan yang bebas dari penghalang komunikasi.
- Untuk meninjau secara periodik semua aspek program manajemen ruang dan melakukan perbaikan jika diperlukan.
Prinsip – prinsip manajemen ruang
dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip ini. Subbab selanjutnya akan
menggunakan tujuan-tujuan ini sebagai kerangka referensi.
Gaya Kepemimpinan
Deserter
Pendekatan gaya manajemen tipe ini adalah suka mengabaikan masalah, mencuci tangan, tidak mau bertanggung jawaba atau istilah kerennya adalah laisser-faire. Tipe gaya ini mengabaikan berbagai keterlibatan atau intervensi yang dapat menjadikan situasi dianggap sulit atau rumit. Sikapnya selalu mencoba netral terhadap apa yang terjadi di keseharian, mencari jalan untuk menghindar dari aturan yang dianggap menyulitkan. Polanya adalah mencoba tetap menyelaraskan antara atasan dan bawahan, menghindari perubahan perencanaan. Pola yang tampak secara manajerial adalah defensif, misalkan ada kebijakan yang menyulitkan bawahan maka ia mengatakan saya hanya menjalankan perintah, kebijakan dari atasan. Bukan berarti pola seperti ini buruk, deserter hanya berupaya menjaga keadaan status-quo dan menghindari perubahan drastis atau “guncangan dalam manajemen”.
Bureucratic
Pendekatan gaya manajemen ini adalah prosedural, berdasarkan aturan atau tata pelaksanaan, menerima dengan tulus hirarki kewenangan dan menggunakan komunikasi sangat formal dalam bersikap. Skor yang tinggi berarti sistematik. Fungsi dan peran birokrat akan sangat optimal pada situasi yang terstruktur dengan pola prosedur yang jelas meskipun dapat saja prosedur yang ada sebenarnya rumit, namun birokrat akan tetap tenang menghadapi sistem yang ada. Birokrat berpegang pada sistem, gaya manajemen seperti ini tampak seperti otokrat, kaku dan dapat membosankan bagi orang-orang yang fleksibel.
Missionary
Bisa jadi fakultas psikologi UI menerjemahkan menjadi pemurah hati adalah istilah yang paling cocok, karena pendekatan gaya manajemen seperti ini adalah menggunakan unsur afektif yang sangat kental. Missionary berupaya mendorong situasi positif dalam manajemen dengan memberikan kandungan sensitivitas, kepedulian dan hal-hal yang mungkin dianggap penting untuk meningkatkan kinerja melalui sentuhan emosi/perasaan. Model manajerial seperti ini berupaya menjaga orang lain termasuk bawahan pada situasi bahagia dalam situasi apapun. Perilaku mendorong atau mengajak menunjukkan bagian penting dari gaya yang ditunjukkan. Mengapa dikatakan kurang efektif gaya manajemen seperti ini adalah karena kurang ketersediaanya peluang konflik, berupaya tetap halus dalam bertindak dan kesulitan untuk menolak atau berkata tidak, padahal banyak pekerjaan perlu ketegasan dalam manajemen.
Developer
Gaya manajemen developer adalah sisi efektif dari gaya missionary. Tujuan dari gaya seperti ini adalah untuk bertindak secara profesional tanpa mengesampingkan aspek emosi. Bawahan diberikan kesempatan untuk memberikan ide, pandangan atau peran lebih dari kebijakan yang ada untuk mengembangkan potensi. Kontribusi diberikan dan perhatian untuk pengembangan pun diperhatikan. Skor tinggi memiliki keyakinan optimis tentang individu untuk bekerja dan menghasilkan. Sifat pendekatan berupa kolegial, bawahan sebagai partner bukan hanya sebagai “pembantu” dalam mengerjakan sesuatu. Gaya seperti ini senang untuk berbagi pengetahuan dan keahlian dan potensi bawahan dapat dioptimalkan.
Autocratic
Model pendekatan pengendalian dan pengarahan yang dianggap kurang efektif. Gaya seperti ini lebih perhatian hanya pada produktivitas dan hasil. Skor tinggi dianggap sebagai manajer yang formal, memberikan tugas ke bawahan berdasarkan instruksi dan mengawasi secara ketat proses yang terjadi. Kesalahan tidak bisa ditolerir, penyimpangan harus dihindari… yang penting jangan sampai salah dalam mengerjakan sesuatu. Kebijakan adalah urusan atasan sementara bawahan cukup melaksanakan apa yang harus dikerjakan tanpa ada alasan karena dianggap tidak perlu dan membuang waktu. Gaya ini meminimalisir komunikasi, membatasi terhadap apa yang perlu saja. Bawahan akan menganggap dingin atasan dengan gaya ini, terutama bagi mereka yang membutuhkan lebih dari sekadar tugas yang harus dikerjakan seperti dorongan akan pengakuan atau dukungan.
Benevolent Autocratic
Gaya ini dianggap efektif karena memberikan unsur komunikatif dalam melakukan gaya otokratik. Gaya ini masih mengandalkan instruksi dan intervensi. Skor tinggi dapat dilihat sebagai guru dalam memberi tugas, dimaana dapat memberikan instruksi dengan tidak menesampingkan komunikasi kepada bawahan secara lebih fleksibel. Pola yang dilakukan tidak meninggalkan bawahan dengan memberikan kesediaan untuk bertanya, membantu apabila ada hal yang dianggap salah atau menyimpang. Pola keseharian terstruktur dalam menentukan target kerja, produktivitas dan memberi perintah, tidak ragu memberikan hukuman namun bertindak adil dalam menyikapinya. Gaya ini dapat bekerjasama dengan baik namun menghindari hubungan keterdekatan antar personal.
Compromiser
Gaya ini mengandalkan tugas dan relasi yang seimbang, namun dianggap kurang efektif karena kesulitan mengintegrasikan antara tuntutan tugas dan hubungan. Gaya ini akan merasa kebingungan antara pengaturan tugas dan kebutuhan untuk berinteraksi. Dalam menghadapi tekanan, maka akan cenderung kompromi sehingga berbagai tujuan seringkali menyimpang, misalkan target waktu tidak kelar atau terjadi penyimpangan tujuan. Sensitivitas terhadap hubungan seringkali mengubah alasan terhadap tujuan semula.
Executive
Gaya ini dianggap efektif karena dapat mengelola dengan baik antara tugas dan hubungan. Model ini adalah sisi efektif dari gaya kompromis. Pola yang dilakukan dapat mengintegrasikan antara tugas dan hubungan dengan baik, mengelola dan memanfaatkan kedua aspek dengan sinergi yang optimal. Pendekatan ini dapat dikatakan sebagai pendekatan konsultatif, interaktif dan pemecah masalah. Pendekatan ini memanfaatkan eksplorasi terhadap berbagai sumber daya, keragaman informasi dan dapat memanfaatkan isu negatif menjadi dorongan untuk hasil yang lebih optimal. Gaya ini melibatkan tim dalam perencanaan dan mengambil kesimpulan. Komunikasi dilakukan terhadap bawahan untuk meningkatkan kualitas informasi yang dapat menjadikan keputusan lebih baik. Manajer dengan gaya seperti ini dapat dianggap sebagai motivator karena terbuka dengan berbagai hal baik yang mendukung atau menentang untuk mendapakan komitmen bersama.
Pendekatan gaya manajemen tipe ini adalah suka mengabaikan masalah, mencuci tangan, tidak mau bertanggung jawaba atau istilah kerennya adalah laisser-faire. Tipe gaya ini mengabaikan berbagai keterlibatan atau intervensi yang dapat menjadikan situasi dianggap sulit atau rumit. Sikapnya selalu mencoba netral terhadap apa yang terjadi di keseharian, mencari jalan untuk menghindar dari aturan yang dianggap menyulitkan. Polanya adalah mencoba tetap menyelaraskan antara atasan dan bawahan, menghindari perubahan perencanaan. Pola yang tampak secara manajerial adalah defensif, misalkan ada kebijakan yang menyulitkan bawahan maka ia mengatakan saya hanya menjalankan perintah, kebijakan dari atasan. Bukan berarti pola seperti ini buruk, deserter hanya berupaya menjaga keadaan status-quo dan menghindari perubahan drastis atau “guncangan dalam manajemen”.
Bureucratic
Pendekatan gaya manajemen ini adalah prosedural, berdasarkan aturan atau tata pelaksanaan, menerima dengan tulus hirarki kewenangan dan menggunakan komunikasi sangat formal dalam bersikap. Skor yang tinggi berarti sistematik. Fungsi dan peran birokrat akan sangat optimal pada situasi yang terstruktur dengan pola prosedur yang jelas meskipun dapat saja prosedur yang ada sebenarnya rumit, namun birokrat akan tetap tenang menghadapi sistem yang ada. Birokrat berpegang pada sistem, gaya manajemen seperti ini tampak seperti otokrat, kaku dan dapat membosankan bagi orang-orang yang fleksibel.
Missionary
Bisa jadi fakultas psikologi UI menerjemahkan menjadi pemurah hati adalah istilah yang paling cocok, karena pendekatan gaya manajemen seperti ini adalah menggunakan unsur afektif yang sangat kental. Missionary berupaya mendorong situasi positif dalam manajemen dengan memberikan kandungan sensitivitas, kepedulian dan hal-hal yang mungkin dianggap penting untuk meningkatkan kinerja melalui sentuhan emosi/perasaan. Model manajerial seperti ini berupaya menjaga orang lain termasuk bawahan pada situasi bahagia dalam situasi apapun. Perilaku mendorong atau mengajak menunjukkan bagian penting dari gaya yang ditunjukkan. Mengapa dikatakan kurang efektif gaya manajemen seperti ini adalah karena kurang ketersediaanya peluang konflik, berupaya tetap halus dalam bertindak dan kesulitan untuk menolak atau berkata tidak, padahal banyak pekerjaan perlu ketegasan dalam manajemen.
Developer
Gaya manajemen developer adalah sisi efektif dari gaya missionary. Tujuan dari gaya seperti ini adalah untuk bertindak secara profesional tanpa mengesampingkan aspek emosi. Bawahan diberikan kesempatan untuk memberikan ide, pandangan atau peran lebih dari kebijakan yang ada untuk mengembangkan potensi. Kontribusi diberikan dan perhatian untuk pengembangan pun diperhatikan. Skor tinggi memiliki keyakinan optimis tentang individu untuk bekerja dan menghasilkan. Sifat pendekatan berupa kolegial, bawahan sebagai partner bukan hanya sebagai “pembantu” dalam mengerjakan sesuatu. Gaya seperti ini senang untuk berbagi pengetahuan dan keahlian dan potensi bawahan dapat dioptimalkan.
Autocratic
Model pendekatan pengendalian dan pengarahan yang dianggap kurang efektif. Gaya seperti ini lebih perhatian hanya pada produktivitas dan hasil. Skor tinggi dianggap sebagai manajer yang formal, memberikan tugas ke bawahan berdasarkan instruksi dan mengawasi secara ketat proses yang terjadi. Kesalahan tidak bisa ditolerir, penyimpangan harus dihindari… yang penting jangan sampai salah dalam mengerjakan sesuatu. Kebijakan adalah urusan atasan sementara bawahan cukup melaksanakan apa yang harus dikerjakan tanpa ada alasan karena dianggap tidak perlu dan membuang waktu. Gaya ini meminimalisir komunikasi, membatasi terhadap apa yang perlu saja. Bawahan akan menganggap dingin atasan dengan gaya ini, terutama bagi mereka yang membutuhkan lebih dari sekadar tugas yang harus dikerjakan seperti dorongan akan pengakuan atau dukungan.
Benevolent Autocratic
Gaya ini dianggap efektif karena memberikan unsur komunikatif dalam melakukan gaya otokratik. Gaya ini masih mengandalkan instruksi dan intervensi. Skor tinggi dapat dilihat sebagai guru dalam memberi tugas, dimaana dapat memberikan instruksi dengan tidak menesampingkan komunikasi kepada bawahan secara lebih fleksibel. Pola yang dilakukan tidak meninggalkan bawahan dengan memberikan kesediaan untuk bertanya, membantu apabila ada hal yang dianggap salah atau menyimpang. Pola keseharian terstruktur dalam menentukan target kerja, produktivitas dan memberi perintah, tidak ragu memberikan hukuman namun bertindak adil dalam menyikapinya. Gaya ini dapat bekerjasama dengan baik namun menghindari hubungan keterdekatan antar personal.
Compromiser
Gaya ini mengandalkan tugas dan relasi yang seimbang, namun dianggap kurang efektif karena kesulitan mengintegrasikan antara tuntutan tugas dan hubungan. Gaya ini akan merasa kebingungan antara pengaturan tugas dan kebutuhan untuk berinteraksi. Dalam menghadapi tekanan, maka akan cenderung kompromi sehingga berbagai tujuan seringkali menyimpang, misalkan target waktu tidak kelar atau terjadi penyimpangan tujuan. Sensitivitas terhadap hubungan seringkali mengubah alasan terhadap tujuan semula.
Executive
Gaya ini dianggap efektif karena dapat mengelola dengan baik antara tugas dan hubungan. Model ini adalah sisi efektif dari gaya kompromis. Pola yang dilakukan dapat mengintegrasikan antara tugas dan hubungan dengan baik, mengelola dan memanfaatkan kedua aspek dengan sinergi yang optimal. Pendekatan ini dapat dikatakan sebagai pendekatan konsultatif, interaktif dan pemecah masalah. Pendekatan ini memanfaatkan eksplorasi terhadap berbagai sumber daya, keragaman informasi dan dapat memanfaatkan isu negatif menjadi dorongan untuk hasil yang lebih optimal. Gaya ini melibatkan tim dalam perencanaan dan mengambil kesimpulan. Komunikasi dilakukan terhadap bawahan untuk meningkatkan kualitas informasi yang dapat menjadikan keputusan lebih baik. Manajer dengan gaya seperti ini dapat dianggap sebagai motivator karena terbuka dengan berbagai hal baik yang mendukung atau menentang untuk mendapakan komitmen bersama.
Subscribe to:
Posts (Atom)