Featured Article

Sunday 26 October 2014

NEGARA YANG KU PILIH



“Mengapa kalian dilahirkan di Indonesia ??”.  
Itulah pertanyaan pertama yang di lontarkan oleh kakak tingkat saya yang bernama Abdullah, ia seorang mentor kegiatan Keagamaan. Aku bersama dua orang Mahasiswa lainnya dari jurusan yang berbeda. Mereka bernama Taufik dan Fikri. Di minggu pagi, kami sedang mengikuti kegiatan mentoring Keagamaan di pelataran Masjid kampus yang diadakan bagi mahasiswa semester 2.
“Karena ini adalah takdir dari Allah SWT dan kita jangan pernah menyalahkan takdir”. Jawabku tegas.
“Mungkin pertanyaan itu jarang kita dengar dan jarang pula kita renungkan bersama, benar kan?”. Tanya Abdullah. Seketika aku dan yang lainnya diam tanpa kata, mungkin memang kami sejutu dengan pertanyaan Abdullah atau memang pertanyaan itu tidak penting.
“Jika jawabannya takdir maka sudah terjawab pertanyaan Kaka tadi, tapi mengapa demikian?. Karena kita tidak tahu rencana Allah SWT yang sebenarnya mengapa kita dilahirkan di Negara yang mayoritas muslim ini”. Jawab Abdullah dengan roman wajah yang serius.
“Lantas, apa yang sudah kalian lakukan untuk Negara kelahiran kalian ini ? baik dalam bidang Keagamaan ataupun bidang lainnya, iya silahkan kepada teman-teman sekalian untuk berbagi pengalamannya”. Tanya Abdullah lagi.
“Ka, saya duluan boleh?”. Jawab Fikri.
“Iya silahkan Fikri”. Tambah Abdullah.
“Kalau saya sendiri, saya sudah pernah mengharumkan nama Indonesia dalam ajang perlombaan robot se-Asia yang diadakan di Jepang. Dan pada waktu itu saya kebetulan meraih juara II, mungkin nantinya saya akan terus mengharumkan Negara kelahiran saya ini dengan keahlian yang saya punya”. Jawab Fikri dengan nada yang menyakinkan dan roman wajah yang serius.
“Ka saya juga mau berbagi pengalamannya donk”. Jawab Taufik sambil memelas.
“Iya silahkan Taufik”. Tambah Abdullah.
“Saya pernah mengharumkan budaya Indonesia di mata Internasional melalui pentas seni Angklung yang diadakan di Kota Hamburg, Jerman. Pada waktu itu saya bersama teman-teman dari UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Musik Tradisional  di undang langsung oleh Dubes Indonesia di Jerman pada acara Traditional Music Performance dan saya kira hal itu salah satu bentuk kegiatan yang membuat Indonesia bangga”. Jelas Taufik dengan tersenyum bangga. Dalam kekagumanku kepada Fikri dan Taufik, Rasa iri muncul dari dalam hati ini.
“Alhamdulillah, lanjutkan terus ya, Fikri dan Taufik, terus bagaimana dengan Daud?”, tanya Abdullah secara singkat.
“Itulah pertanyaan yang paling aku takutkan”. Jawabku dalam hati. Aku pun kebingungan karena melihat dari pengalaman hidupku, belum pernah melakukan suatu hal pun yang bisa dibanggakan, baik untuk Agama ataupun Negara kelahiranku ini.
 “Emmm…. Kalau saya belum punya pengalaman yang seperti itu, tapi rencana saya mau menjadi orang Indonesia yang berdakwah di Negara-Negara Eropa”. Jawabku secara spontan dan berharap mendapat nilai tambah dalam pandangan Abdullah.
Dan suasana mentoring pun sunyi sejenak, kulihat wajah mereka tampak kebingungan, “Mungkin karena aku yang salah jawab atau aku yang berlebihan jawabnya ya?”. Tanyaku dalam hati.
“Subhanalloh, meskipun baru rencana kaka bangga kepadamu, tapi apa kamu yakin dengan rencanamu itu?”. Tanya Abdullah dengan mimik wajah ragu-ragu
“Emm, Insya Allah, saya yakin dengan rencana saya”. Jawabku dengan ragu-ragu
“Ka, tidak apa-apa saya bertanya kepada Daud?”. Tanya Fikri
“Iya silahkan Fikri”. Jawab Abdullah
“Sampai saat ini kemampuan apa saja yang sudah Daud siapkan untuk menggapai rencananya itu?”. Tanya Fikri. Pertanyaan itu seperti seorang polisi yang sedang menginterogasi penjahat. Dan disini aku yang menjadi penjahatnya.
”Eemmm…, kalau kemampuan sih….. paling dari bidang Tauhid, Aqidah dan yang lainnya akan aku perdalam”. Jawabku polos dan mulai membohongi diri sendiri. Dalam aktifitasku sebagai Mahasiswa jelas tidak apa-apanya dibandingkan dengan dua orang temanku ini. Aku tidak pernah mengikuti kegiata-kegiatan kemahasiswaan dikampus, jarang pergi baca-baca di perpustakaan. Aktifitasku hanya kuliah dan nongkrong di kampus. Dorongan untuk belajar pun rendah, terbukti dari nilai IPK yang pas-pasan.
Suasana hatikupun kembali tidak tenang ketika Taufik dan Fikri tersenyum sinis kepadaku.
“Pertanyaan terakhir untuk mengakhiri pertemuan kali ini adalah, Negara mana yang kalian pilih, seandainya kalian diberi kesempatan menetap disana?. Iya…kaka pengen tau dulu dari Fikri”. Tanya Abdullah
“Kalau aku sih… pengennya sih di Francis. Karena pertama, cita-cita keluargaku pengen pindah dan menetap disana di tambah perkembangan teknologinya sudah maju. Jadi bisa mengembangkan kemampuanku juga dalam bidang Robotika. Kalau di Indonesia sih… banyak kendala buat majuin bakatku ini”. Jelas Fikri
“Selanjutnya, Daud Atau Taufik dulu?”. Tanya Abdullah
“Saya aja Ka”. Ujar Taufik.
“Iya silahkan Taufik”. Jawab Abdullah.
“Kalau saya… sesuai dengan Negara kelahiran Ayah saya yaitu Irlandia, kalau dalam sepak bola sih… saya itu bisa disebut pemain naturalisasi,”hhehe. Jawab Taufik.
“Sombong banget ini orang”. Jawabku dalam hati.
“Kita tahu alat musik tradisional terompet yang menjadi ciri khas Negara Irlandia, dan itu hanya salah satunya, masih banyak lagi alat musik Tradisional yang unik. Nah…itu yang membuat saya terobsesi pengen ke sana, kalau di kasih pertanyaan seperti tadi, yaa Irlandia yang menjadi pilihan saya, hhehhe”. Jawab Taufik diakhiri dengan senyum.
“Iya terakhir, silahkan Daud,”. Tanya Abdullah.
“Saya ka, emmm…. tetap di Indonesia saja. Saya merasa, orang-orangnya, budaya dan daerahnya, di Indonesia ini punya keunikan tersendiri. Tapi yang terpenting adalah Agamanya ka, yaitu Negara yang Mayoritas Islam. Saya bersyukur kepada Allah SWT karena sudah di lahirkan disini.” Jawabku enteng dan tetap berharap mendapat nilai lebih di mata Abdullah.
“Iya, pada bagus-bagus nya jawabannya. Mungkin sudah cukup yah pertemuan pertama kita kali ini, pertanyaan tadi itung-itung sebagai pembuka mentoring pertama kita. Jadi kesimpulannya pertama, jangan pernah menyalahkan takdir yang Allah SWT berikan kepada kita. Kedua, lakukanlah segala sesuatu baik urusan dunia ataupun akhirat karena Allah SWT, bukan karena ingin mendapat pujian atau imbalan dari orang lain. Emmm… kalau begitu kita cukupkan saja dan kita tutup dengan membacakan do’a akhir majelis“. Jelas Abdullah.
“Kok Abdullah kaya yang bisa baca pikiranku, jadi kesindir nih”. Jawabku dalam hati.
“Assalammua’laikum warahmatullahi wabarakatuh”. Abdullah
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabaraktuh”. Jawab kami secara serentak
Kegiatan pertama mentoring pun tidak terasa sudah selesai dan kami pun membubarkan diri. Tapi ketika keluar dari masjid menuju parkiran, aku dipanggil oleh Fikri.
“Daud”. Tanya Fikri sambil berjalan menghampiriku.
“Iya Fik ada apa?”. Jawabku heran.
“Emm, boleh ngobrol sebentar gak?”. Tanya Fikri.
“Iya Fik, kenapa?”. Dalam pikiranku mulai bingung bercampur tegang karena melihat roman wajah fikri yang serius.
“Ngobrolnya di deket tangga Fakultas Ekonomi aja yuu, bentar kok”. Kami pun mulai berjalan bersama menuju tangga Fakultas dan memang di hari minggu ini kampus terlihat sepi. Perasaanku mulai bingung, mau apa si Fikri ngajak ngobrol-ngobrol segala.
“Langsung aja yahh, saya itu mau nanya tentang jawaban kamu pas tadi mentoring. Jujur yah, saya sebenernya iri lihat kamu yang mempunyai cita-cita begitu mulia yang mau jadi pendakwah dalam Islam. Tapi memang gitu yah di ajaran Islam, harus jadi pendakwah?”. Tanya Fikri. Rasa bangga mulai menghampiriku, memang tidak salah jawabanku tadi. Tapi bersamaan dengan itu muncul kebingungan.
“Kok nanya nya kaya gitu?, memang wajib kan, setiap muslim minimal berdakwah kepada keluarga, nah maksimalnya kepada siapa saja”. Jawabku seadanya.
Pada saat aku selesai menjawab, terdengar bunyi handphone di dalam tas Fikri. Dengan tergesa-gesa ia mencari handphone di dalam tasnya sehingga isi di dalam tasnya keluar semua. Ketika melihat handphone nya ia pun terlihat tegang dan resah.
“Bentar yahh, nerima telepon dulu, barang-barang yang keluar biarin aja nanti Fikri yang beresin”. Jawab Fikri. Setelah itu ia bergegas menuju arah belakang gedung Fakultas dan tidak terlihat dalam pandanganku. Kebingunganku mulai mencapai titik klimaks ketika ia berkelakuan seperti itu. Dengan rasa lupa yang dikatakan ia tadi dan di pikiranku hanya berniat untuk menolong, aku pun memasukkan kembali barang-barangnya yang keluar. Betapa kagetnya ketika yang kutemukan di antara buku-bukunya ada kitab Injil Kristen. Dengan rasa bingung dan di tambah rasa penasaran, ku buka kitab Injil itu dan tepat pada halaman pertama ada tulisan yang membuatku lebih kaget. Di sana ada tulisan “I love Jesus” beserta dibawahnya ada tulisan nama Valentinus dan no hanphone. Ku buka halaman selanjutnya, secara tiba-tiba Fikri datang dan mengambil kitab Injilnya seraya berkata.
“Kan aku sudah bilang, jangan dulu diberesin barang-barangnya”. Bentak Fikri, muka putihnya berubah menjadi merah karena emosi yang tinggi.
“Iya maaf, tadi tidak sengaja, niatnya cuman membantu kok”, Jawabku merendah.
“Iya gak apa-apa, sepintar-pintarnya menyembunyikan pasti ketahuan juga kok”. Jawab Fikri. Seketika suasana pun mula mencair, tapi tetap kebingunganku belum terobati.
“Emm, sebenarnya…… aku itu bukan penganut agama Islam, namaku Valentinus, tadi juga yang menelepon ibuku, ia selalu mengingatkanku untuk beribadah di Gereja. Harusnya sekarang tuh.. aku ibadah di Gereja. Tapi, sekarang aku mau jujur secara total. Tapi Daud jangan bilang dulu ke siapa-siapa yahh”. Tanya fikri memelas.
“ Iya, tenang aja. Gimana ceritanya?”. Tanyaku dengan semangat
 “Aku itu…..emmmm….. selama beberapa bulan ini sudah belajar Islam dan sudah lama juga aku menyembunyikannya dari keluarga. Tapi beberapa teman kelas ada yang sudah mengetahui, tapi aku bilang jangan dulu disebarluaskan. Tapi tenang, aku pengen belajar Islam dan hal ini muncul dari hati bukan utusan untuk kristenisasi. Makanya aku memberanikan diri ikutan mentoring, itu juga banyak perjuangannya, mulai dari bisa punya kartu mentoring, ganti nama dan masih banyak juga lika-likunya”. Jelas Valentinus
Dalam pikiranku mulai menyadari betapa sulitnya kaum non muslim yang berniat masuk islam. Terbayang olehku bagaimana kalau keluarga Valentinus mengetahui niat baiknya ini. Tapi mengapa betapa seringnya aku menyia-nyiakan keislamanku yang diberikan Allah SWT sejak lahir ini.
“Jadi gimana??”. Tanya Valentinus
“Gimana apanya??. Tanyaku
“Iya makanya aku ngajak ngobrol disini tuh… karena aku pengen belajar Islam tapi pengen sama kamu…Daud. Aku sudah percaya sama kamu. Gak apa-apa kan?”. Lanjut Valentinus.
“Oiaa, tentu dengan senang hati. Tapi sebenarnya aku juga belum faham betul tentang Islam. Maksudnya belum siap secara pengetahuan. Kalau hati, aku itu udah mantap dengan agama Islam”. Jawabku polos.
“Iya gak apa-apa, kita sama-sama belajar aja tentang Islam ini, tapi strateginya aku belajar dari kamu.. Daud. Soalnya aku belum siap secara mental kalau langsung belajar dari seorang Ustadz”. Jelas Valentinus.
“Tapi kalau menurutku sihh… bagusnya kamu itu belajar sama Ustadz biar jelas segala masalahnya. Yang Daud takutkan tuh… Nanti kalau salah gak ada yang benerin, kan Daud juga belum faham betul tentang Islam ini, hhehe”, Jawabku polos
“Iya deh, nanti kita obrolin lagi. Oiaa ini no hanphone Valen, nanti Valen kabari buat kedepannya”. Sambil menyodorkan secarik kertas.
“Oke, siap. Kalau gitu, Daud pamit duluan yah. Ada janji sama temen. Gak apa-apa kan?”. Tanyaku
“Oiaa silahkan, tapi sebelumnya terima kasih yaa bantuannya. Terus, tetap jaga tentang rahasia ini. Valen disini aja dulu, nunggu temen buat ke Gereja bareng”. Jawab Valentinus.
“Tenang saja, aku bukan tipe orang yang suka curhat”. Jawabku, sambil berjalan pergi ke arah parkiran.
Di hari minggu ini, aku merasakan sesuatu yang sangat berbeda. Mungkin ini salah satu pertolongan Allah SWT agar aku kembali ke jalan yang lurus. Aku ingat perkataan seorang Ustadz yaitu kita harus bisa mengambil hikmah di setiap kejadian yang kita alami. Dan hikmahnya dari pengalaman ini aku berjanji kepada diriku sendiri dan kepada Allah SWT untuk berubah dalam sikap dan prilaku. Agar bisa menjadi orang yang ber Amar Ma’ruf Nahyi Mungkar. Kalau di beri pilihan, aku akan memilih Negara Indonesia sebagai Negara untuk memperdalam pengetahuanku tentang Islam. Dengan begitu akan kuwujudkan rencanaku yang tadinya hanya sebatas menjawab pertanyaan Abdullah tapi sekarang akan benar-benar kuwujudkan yaitu menjadi orang Indonesia yang berdakwah tentang Islam di Negara-negara Eropa.
Aamiin

Wednesday 15 October 2014

Membuat Senang Pasangan Anda

Ketika Anda merasa tidak bisa membuat senang pasangan anda. Itu bukan suatu kekurangan, akan tetapi suatu ujian bagi Anda sebagai makhluk sosial.

Mari kita tantang diri anda lebih dari itu.
  1. Apakah anda bisa membuat senang Allah SWT ?
  2. Apakah anda bisa membuat senang orang tua anda ?
  3. Apakah anda bisa membuat senang kerabat atau saudara anda?
  4. Apakah anda bisa membuat senang tetangga  / teman anda? 
Ketika anda bisa membuat senang ke empat poin diatas, maka otomatis pasangan anda akan senang dengan sendirinya dikarenakan pada dasarnya Agama yang mengatur dan manusia yang menjadi objek yang diaturnya.

Ketika anda tidak mau diatur oleh Agama, maka lebih baik tanyakan pada diri sendiri..
  1. Apa tujuan anda hidup di dunia ini ?
  2. Apakah anda merasa kekal akan kehidupan di dunia ini?
  3. Atau anda ingin menjadi pengatur dalam kehidupan di dunia ini dengan metode anda sendiri ?
Jika sudah bisa menjawab ke tiga poin diatas dan anda coba fahami. Maka anda akan malu dengan diri sendiri dan akan takut akan hari pembalasan kelak dimana setiap individu di berikan balasan yang setimpal dengan keyakinan, dan amal perbuatan selama di dunia ini. 

Ketika Anda berniat dan berusaha untuk membuat senang pasangan anda, maka niatkan untuk ibadah dan menambah ladang pahala bagi anda, bukan hanya untuk membuat hubungan bertahan lebih lama.
Karena jika hasil dari jerih payah anda, tidak dihargai atau tidak sesuai dengan harapan anda,, 
maka yang ada, hanya penyesalan dan kekecewaan.

Tetapi ketika anda berniat untuk ibadah dan anda faham bahwa yang mengatur setiap kehidupan individu adalah Allah SWT. Maka apapun hasilnya jika anda sudah berdo'a dan berusaha dengan semaksimal mungkin, Anda akan menjadi orang yang lebih bijak. 

 Seperti kata Dr. Aam Aminuddin "Hidup tidak seperti yang inginkan, tetapi seperti yang kita jalani "